Jumat, Agustus 01, 2014

Agoraphobia

Source : MangaFox

Kemungkinan besar dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, aku akan jadi seorang pengidap agoraphobia-phobia keluar rumah. Setelah bipolar disorder, PTSD, perfeksionis, anti sosial, dan kini agoraphobia. Hebat, benar-benar hebat. Masa depan yang cerah ceria benar-benar menungguku di depan sana.

Emosiku lebih kerdil daripada anak umur sepuluh tahun. Begitu banyak hal yang bisa dengan mudah melukaiku. Membuatku trauma, menjadikanku phobia, menanamkan ketakutan padaku. Setelah kejadian shubuh tadi, aku semakin menyadari bahwa betapa sedikitnya hal yang dapat ku kendalikan, terlalu sedikit sesuatu yang bisa ku atur, ku jalankan sesuai kehendakku. Kebanyakan berlalu melewatiku, tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Aku tidak bisa. aku tidak akan bisa lagi melewati kejadian seperti itu. Aku tidak bisa tiba-tiba harus memikul tanggung jawab sebesar itu di pundakku, memikul nasib orang lain yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan dunia kecilku.

Seharian ini aku keluar rumah hanya ke masjid untuk sholat. Dan setiap kali melangkah keluar, bahkan memikirkannya saja, sudah membuatku panik dan ketakutan. Aku mengintip keluar dari jendela rumahku, memastikan tak ada orang yang bisa mempengaruhi emosiku. Aku berjalan cepat, lalu kembali pulang dengan cepat juga. Berkeringat dingin, nafasku tak teratur, dadaku sesak, kakiku gemetaran, pikiranku dipenuhi ilusi tentang penghakiman dalam tatapan mata orang lain. Hatiku dipenuhi rasa takut dan kepanikan, ingin menangis, rasanya tanah akan sewaktu-waktu terbelah di bawah kakiku lalu menenggelamkanku ke lubang gelap tanpa dasar, udara memampat di organ pernafasanku, dan langit mengancam akan runtuh setiap waktu.

Source : MangaFox

Aku takut. Takut sekali.

Aku tidak tahu bagaimana harus melewati semua ini. Lebih baik aku di dalam rumah sini saja, aman dan nyaman di dalam kamar kecilku, dikelilingi oleh semua hal yang ku cintai, segala sesuatu yang lebih bisa ku tangani. Ada keluargaku disini, animeku, buku-bukuku, kasurku, kipas anginku, dan….perasaan aman dan nyaman ini. Tak ada lagi yang ku butuhkan. Aku tidak mau keluar rumah. Terlalu banyak hal menakutkan di luar sana. Aku sama sekali tidak bisa meramal masa depan. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi padaku saat selanjutnya aku berada di luar ? atau selanjutnya lagi ?

Dan siapa yang bisa menjamin bahwa orang-orang di luar sana tidak menghakimiku setiap kali melihatku ? melihat arah dan jalan yang ku tuju ? siapa yang bisa melindungiku dari mereka ? siapa yang bisa membelaku dan berdiri di depanku, ketika aku telah putus asa dan kehilangan kata, saat seluruh dunia mencibir dan memandang rendah alasan-alasanku ?? Siapa ???

___________________________________________________________________________
Catatan tambahan ini ditulis beberapa jam kemudian  dari tulisan di atas, saat aku sudah mulai tenang.

Aku akan menceritakan kisahku tadi pagi. Kisah yang membuatku masuk dalam antrean sebagai calon pengidap agrophobia.

Jadi, aku punya tetangga yang rumahnya depan rumah, untuk menghormati privasi beliau dan privasiku sendiri di dunia nyata [ siapa tahu aja ada orang dari dunia nyataku yang dengan sengaja atau tidak sengaja membaca postingan ini ], sebut saja namanya Mr. D.

Sudah sejak aku KKN kurang lebih dua bulan lalu, beliau ini mendadak jatuh sakit. Komplikasi penyakit dalam yang banyak banget. Jantung, ginjal, darah rendah, dll entah apalagi. Beliau ini kebetulan seorang yang terpandang di lingkunganku, karena beliau adalah seorang ulama besar. Tidak ada orang yang tidak kenal. Sakitnya ini parah banget. Kalo pas kambuh bisa pingsan tiba-tiba, dan...ah entah apalagi.

Fajar tadi, saat aku akan berangkat sholat shubuh ke mesjid, kebetulan aku bersua dengan dia. Karena rumah kami berhadapan, tentu sering sekali kami kebetulan bertemu dalam perjalanan ke mesjid. Masalahnya, saat melihatnya tadi pagi, perasaanku tiba-tiba tidak enak. Tapi mau balik ke rumah, sudah kepalang tanggung. Apalagi beliau sepat melihatku, kelihatan sekali nanti kalau aku menghindar. Beliau berjalan di depanku.

Dan beberapa detik dan beberapa alangkah kemudian, firasat burukku menjadi kenyataan. Tiba-tiba dia melambat dan menepi di pinggir jalan, lalau terbatuk-batuk dengan keras. Aku berjalan mendahuluinya, dengan khawatir menengok ke belakang padanya karena dia juga mulai muntah-muntah. 

Dan...

Belum sempat aku mencerna kejadian itu, tiba-tiba beliau tumbang. Jatuh ke jalan sambil kejang-kejang dan tangannya kayak orang kambuh stroke gitu.

Refleks aku langsung menghampirinya. Berteriak-teriak memanggil namanya. Lalu aku berteriak meminta tolong. Di mesjid, orang-orang sedang sholat shubuh, sudah di pertengahan sujud rakaat pertama. Tidak ada orang lain di sekelilingku. Hari masih begitu gelap. Beliau masih kejang-kejang. Aku ragu antara mau memegangnya atau tidak, mau membantunya duduk atau apalah tapi takut kekuatanku tidak sanggup menahan tubuh beliau. Takut setengah mati kalau beliau kenapa-kenapa karena jujur saja, aku paling nggak bisa menangani hal seperti ini.

Lalu, dengan seketika ku putuskan untuk ke rumah beliau mencari bantuan dari anggota keluarganya. Jaraknya tidak jauh kok, tidak sampai 50 meter dari rumah kami. Aku berdo'a setengah mati supaya masih ada orang di rumah beliau.

Lalu ku gedor-gedor pintu rumah beliau yang baru, mengkilap oleh pernis, dan tebal itu. Aku berteriak-teriak di depan rumahnya, sambil memukul-mukul seperti orang kehabisan akal. Beberapa saat berlalu, tidak ada yang keluar rumahnya. Karena khawatir dengan keadaan Mr. D yang terbaring di tengah jalan tanpa ada yang menunggui, aku memutuskan akan mencoba memapahnya sendirian saja. Begitu sampai di ujung halaman rumah Mr. D dan melihat ke jalanan tempat beliau terbaring tadi, ternyata beliau sudah berdiri lagi dan berjalan ke arah mesjid. Karena sudah tak ada lagi yang dapat ku lakukan, wong orang rumahnya aja tetep nggak ada yang keluar, aku menyusul beliau ke mesjid. Mr. D berjalan tertatih-tatih sambil masih terbatuk-batuk hebat. Bahhkan beliau sempat berhenti sebentar sambil bersandar di tiang masjid. Aku menatapnya khawatir. Tapi beliau lalu masuk dan sholat shubuh berjama'ah. 

Begitu sholat selesai, ternyata di belakangku ada anak perempuannya yang terlambat sholat. Aku memanggilnya dan menceritakan kejadian tersebut. Dia membenarkan memang mendengar suaraku, tapi saat dia membuka pintu, ternyata aku sudah pergi. Sedang Mr. D sendiri, begitu selesai sholat langsung berbaring di lantai masjid.

Masalahnya, aku mendengar cerita dari adikku yang teman akrab anak perempuan Mr. D itu. Saat ditanya anak perempuannya : " Pak, kenapa tadi ?,", Mr. D menjawab : " Iya, tadi saya sempat pingsan sebentar. Eh, saya kira Nf [ Nama panggilanku di rumah ] mau nolongin, ternyata malah lari pulang,". Anaknya menjelaskan bahwa aku lari itu minta pertolongan ke rumah mereka.

Begitu ku tanya ibuku, apa yang akan dilakukannya ketika berada di posisiku, ibuku menjawab bahwa dia mungkin juga akan berteriak-teriak histeris sepertiku. Sedang adik perempuanku bilang, kalau itu dirinya, dia akan langsung memeganginya dan membantunya duduk atau berdiri. Perkataan Mr. D diatas, sepertinya menyiratkan bahwa beliau menyesali keputusanku meninggalkannya di tempat itu.

Dan sampai maghrib tadi keadaan beliau belum juga membaik. Ayah dan ibuku yang menjenguk mengatakan bahwa Mr. D bilang " Yah, kalau dalam keadaan darurat nggak apa-apa [ maksudnya memegangi dia ],"

Dan sepanjang hari ini aku tertekan oleh perasaan bersalah. Apa aku tadi melakukan hal yang benar dengan meninggalkan beliau di jalan, lalu lari ke rumahnya, alih-alih menolongnya dan menunggu pertolongan ? Kalau iya, bagaimana kalau tadi beliau tidak langsung sadar, tapi justru malah tambah parah dan orang-orang yang mungkin akan datang setelahnya, menyalahkanku karena tidak segera memanggil bantuan ? Bagaimana kalau tadi beliau kenapa-kenapa ? 

Dan aku merasa, sepanjang hari ini, orang-orang menatapku dengan pandangan penghakiman. Mungkin aku saja yang terlalu parno. Karena kenyataannya yang tahu kejadian pagi tadi mungkin cuma keluarga Mr. D dan keluargaku. Entahlah. 

Apa yang harus ku lakukan ? Yang mana yang benar sebenarnya ? Memangnya apa yang bisa ku lakukan dalam situasi seperti itu ? Apa yang akan dilakukan orang lain ? Perempuan lain ? Dalam posisi yang sama ? Apakah keputusanku bijaksana ? Apakah jalan yang ku ambil itu mempengaruhi nasibku dan keadaan Mr. D ? 
Source : MangaFox

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.