Jumat, Februari 27, 2015

The Strongest Pole

Ini tentang keinginanku menjadi sukarelawan untuk menolong orang-orang yang mengidap mood disorders, korban pelecehan seksual, atau korban kekerasan anak.....

Source : Pinterest

Aku tidak akan bisa menyelamatkan orang lain jika aku tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Bertahan hidup saja tidak cukup. Aku harus memiliki harapan, yang mana itu adalah sesuatu yang begitu mewah bagiku sekarang. Sebelum aku membantu orang lain untuk merelakan, menerima, memaafkan, dan melupakan, aku harus bisa melakukannya terlebih dahulu. Tidak ada hal baik yang bisa ku berikan pada orang lain jika aku sendiri belum menemukan hal baik itu.

Terutama, aku belum punya cukup kekuatan untuk menciptakan tiang yang bisa ku pegang agar tidak terseret. Penderitaan dan kejadian orang lain akan sangat mempengaruhiku. Dan kecenderunganku untuk merasa bertanggungjawab atas berbagai macam hal, akan membuatku terseret arus gelap karena aku akan merasa tidak bisa menolong mereka. Ya. itu juga alasan mengapa saku memperkecil lingkunganku. Istilahnya, membatasi perimeter. Aku memilih siapa-siapa yang bisa terlibat denganku sehingga paling tidak aku memiliki kendali atas kejadian-kejadian yang mungkin saja terjadi. Dengan begitu, aku bisa menyaring informasi apa yang ku terima, menakarnya sesuai dengan kemampuanku. 

Contohnya, saat menonton berita saja, ketika melihat nasib orang lain yang begitu buruk, atau melihat orang-orang yang begitu jahat dan tidak ada yang bisa menghukum mereka, aku akan begitu marah. Aku putus asa dan mulai menyalahkan diriku kenapa tidak bisa berbuat sesuatu. Pada akhirnya semua berujung sama : Keputusasaan.

Jika aku terlibat dengan kejadian orang lain yang pasti kurang lebih banyak yang sama seperti kejadianku sementara aku belum tersembuhkan, pasti itu akan jadi pelatuk yang meledakkan peluru berisi rasa sakit. Malah, aku mungkin akan menyeret orang yang seharusnya ku tolong itu dalam jurang penderitaanku sendiri. Tidak ada yang akan terselamatkan.

Keinginanku begitu kuat. Aku tidak mau ada orang lain merasakan seperti yang ku rasakan. Rasa sakit dan amarah ini. Sendirian lagi. Aku tidak mau ada anak-anak korban pelecehan seksual, kekerasan, dan bullying yang hidup dengan melihat neraka di depan matanya. Aku tidak mau ada orang-orang terkucilkan yang dianggap gila dan aneh oleh lingkungannya hanya karena mereka mengidap sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan. Mereka diabaikan karena orang lain tidak bisa menandingi mereka. Mereka diremehkan karena sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan. Padahal justru orang-orang inilah pejuang yang sesungguhnya, orang-orang brillian dengan ide-ide hebat dan kekuatan tak terlihat. Mereka inilah yang harus dijaga. 

Jadi, mungkin yang harus ku lakukan pertama kali saat ini adalah mencari bantuan profesional.


Selasa, Februari 24, 2015

Accounting, Sewing, Writing, Dreams, Me, and The Way It Is Now

Untuk orang yang benci peraturan dan kesulitan bekerja di belakang orang lain, aku cukup menyukai dunia akuntansi. Sungguh. Akuntansi itu menantang. Akuntansi bukan persoalan yang terlalu mudah sehingga membuatku cepat bosan dan bukan juga bidang yang sangat sulit hingga aku harus jatuh bangun mempelajarinya.



Lebih dalam lagi, bagiku akuntansi adalah kenyataan. Ketika mempelajarinya saat kuliah dulu, aku sering berpikir, Wow! Jadi inilah semua yang menantiku di luar sana. Semua tabel dan alur ini yang akan menemani hidupku hingga akhir kelak, segala macam ketentuan dan keteraturan ini.

Aku beryukur bahwa di tengah semua keterbatasan dan kemungkinan, aku justru bisa kuliah di jurusan yang tidak sekedar bagus, namun juga bergengsi. Pekerjaan yang berkaitan dengan akuntansi bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi juga menjamin citra dan kedudukan sosial. Meskipun aku sering membaca bahwa para akuntan adalah orang-orang pemikir yang kaku, patuh hukum, tidak neko-neko, dan suka hidup tenang dengan keluarga bahagia. Pekerjaan di bidang akuntansi bukanlah pekerjaan yang menuntut inovasi atau kreativitas, semua yang diperlukan hanyalah belajar dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi ahli disana. Akuntansi bukanlah tentang kemampuan berbicara di depan orang banyak, melainkan bagaimana dengan pendidikan dan pengalaman masalah bisa ditemukan lalu mengatur dan mengelompokkan apa-apa yang “di luar tabel” sehingga segala macam aktivitas bisa tercatat dan terekam lalu catatan itu disusun sedemikian rupa. Akuntansi adalah keseimbangan.

Aku sendiri selalu menganggap diriku lebih ke tipe orang yang artistik. Aku sangat menghargai seni dan kreativitas manusia. Seni adalah sesuatu yang abstrak, berkaitan dengan rasa dan selera yang tidak dapat dikuantifikasi atau diproksikan. Sungguh bertolak belakang dengan akuntansi.

Source : Pinterest

Aku adalah seseorang yang punya mimpi-mimpi besar. Aku menyukai berbagai macam hal yang tidak ku ketahui. Terlebih lagi, aku sangat menikmati proses kreatif dan menciptakan sesuatu. Ya, proses itu sangat sulit. Tidak bisa ditebak, tidak bisa diatur, namun sekali ide itu muncul maka lahirlah sesuatu yang khas dan tidak bisa ditiru individu lain.

Dalam hal ini, aku ingin menjadi penulis dan perancang busana. Dua bidang yang menuntut inovasi dan kreativitas penuh. Tapi itulah yang aku sukai. Aku ini tidak suka mendapati diriku sama dengan orang lain, aku harus berbeda, harus unik, harus tak terganti, harus terlihat. Itulah prinsipku selama ini.

Penulis berarti menjadi Tuhan untuk sebuah semesta kecil. Sang penulis membuat dunia dengan aturan, hukum, norma, dan ketentuan yang diinginkannya. Ia mengisinya dengan tokoh-tokoh rekaannya, mensifati mereka, dan menggerakkan mereka sesuai kemauannya. Perintah yang datang dari jari jemarinya adalah titah tak terbantahkan. Ia menciptakan sistem sesuai idealismenya dan tak ada yang bisa menyalahkannya karena, hei, bagaimanapun ini adalah fiksi. Semua itu adalah keistimewaan seorang penulis. Bahkan, ia bisa mereka ulang takdirnya sendiri, lalu mengaturnya kembali sesuai yang diinginkannya. Memang, ia hanya bisa melimpahkan takdir ideal itu kepada tokoh-tokohnya, namun...apa salahnya?

Source : Pinterest

Mengenai perancang busana, ia juga adalah pembuat aturan. Namun skalanya lebih besar karena ia bersentuhan dengan dunia nyata dan orang-oran yang sesungguhnya. Perancang busana menciptakan aturan dan model yang dengan keindahannya dapat membuat orang terpengaruh sehingga tanpa sadar  mengikuti idealismenya. Siapa yang menentukan bahwa untuk terlihat sebagai seorang yang sukses dengan cita rasa tinggi, engkau harus memakai setelan jas Channel dengan jam tangan Rolex dan sepatu Dolce & Gabbana? Ya, para perancang merek-merek itulah. Mereka berhasil menyentuh orang dengan kreativitasnya sehingga aturan dibuat berdasarkan visi mereka.

Seni adalah pondasi peradaban.

Mengapa aku ingin menjadi penulis dan perancang busana?

Menjadi penulis, tentu karena aku ingin menghidupkan dunia sesuai bayanganku. Sering, aku merasa sangat lelah dalam dunia nyata yang ini. Aku lahir dan terikat dengan berbagai aturan yang ditentukan orang lain. Aku menjalani kehidupan dalam koridor takdir yang telah dituliskan untukku dan aku tidak punya hak apapun untuk merubahnya. Meski aku menganggap diriku adalah orang yang istimewa, meski aku punya berbagai macam ide dan solusi untuk membuat kehidupan di sekelilingku menjadi lebih baik, tidak serta merta aku dapat melaksanakannya. Aku terbentur berbagai batasan dan kekuasaan yang bahkan tidak peduli dengan niat baikku.  Aku hanyalah satu pemain diantara milyaran pemain. Karena itu, aku ingin melihat dunia yang ada di kepalaku benar-benar tercipta walau hanya setebal satu buku. Kalau beruntung, duniaku itu bisa mempengaruhi bahkan menyelamatkan orang lain.

Sedangkan mengenai perancang busana, aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak suka sama dengan orang lain. Jadi, ya, itu saja. Untuk yang satu ini, aku sudah memulainya. Awalnya karena ukuran tubuhku yang tidak ideal, sungguh sulit bagiku menemukan busana yang pas. Padahal aku kuliah yang menuntut pergantian model busana setiap hari dan baju-baju yang ku beli karena ukurannya muat, sungguh tidak ku sukai bentuknya. Karena itu, sejak awal semester tiga, aku mulai membuat modeku sendiri. Aku membeli majalah-majalah mode obralan, aku berselancar ke blog-blog para fashionista. Aku mendesain semampuku. Aku menyisihkan uang sakuku untuk membeli kain di pasar dan menjahitnya ke penjahit. Hasil-hasil karya pertamaku adalah rok-rok maxi dan beberapa macam kemeja. Namun sayangnya, karena aku menjahit pada penjahit pemula tetanggaku yang lulusan SMK dengan pertimbangan biaya, maka hasil jahitannya untuk baju belum terlalu bagus. Kerena itu aku memutuskan untuk menjahit rok-rok saja. Saat aku semester tiga itu, baru aku lah cewek berkerudung yang setiap hari memakai rok beragam model dengan beragam motif dan warna. Mode umum anak kuliah waktu itu adalah celana botol jins dengan kemeja. Aku punya gaya berbusana yang berbeda dengan mahasiswa lain dan aku percaya diri karenanya. Beberapa teman menanyakan model busanaku dan saat tahu aku mendesainnya sendiri mereka terlihat begitu kagum. Itu perasaan yang menyenangkan, mengetahui bahwa seleramu diakui orang lain. 

Saat memasuki semester enam, barulah style baru yang dibawa oleh para hijaber meledak. Saat itu mulailah banyak mahasiswa berkerudung yang memakai rok sebagai padanan busananya. Ada yang begitu menggangguku tentang hal tersebut. Banyak dari mereka hanya membeli pakaian itu karena modelnya terlihat bagus, padahal mereka sama sekali tidak pantas memakainya. Kesannya jadi dipaksakan. Fashion adalah tentang orang. Mengapa berusaha memakai sesuatu terlihat bagus di tubuh orang lain namun sangat mengerikan dikenakan pada tubuh sendiri?  Seperti rok maxi dari kain transparan dengan pelapis kain yang hanya sampai lutut sehingga orang masih harus memakai kaus kaki jika tak ingin kakinya terlihat, dan penampilan itu sangat sangat menggangguku sehingga hampir saja aku memarahinya. Padahal kebanyakan para perancang yang menampilkan sendiri rancangannya itu memiliki tubuh yang ideal dengan warna kulit dan kontur wajah sempurna sehingga ya, tentu saja apa yang mereka kenakan akan terlihat bagus. Atau jika tidak, mereka menggunakan model-model dengan tubuh yang sudah jelas sempurna. Padahal aku membaca di suatu tempat bahwa di dunia ini hanya kurang dari 5% orang yang punya tubuh ideal. Jadi, haruskah 95% lainnya memaksakan diri mereka dalam busana yang sama sekali tidak sesuai?

Itulah keinginanku. Untuk menciptakan busana yang cocok untuk 95% orang itu. Aku adalah salah satu orang yang masuk kategori yang disebut “bencana mode”. Tubuhku gendut, besar, dengan kulit sawo matang ke arah gelap. Perutku berlipat dan lenganku bergelambir. Hidungku pesek, wajahku bundar, alis dan bulu mataku tipis, serta tulang pipiku tidak menonjol. Sulit mencari busana yang pas denganku. Banyak anak-anak muda dengan tubuh sepertiku yang akhirnya harus menyerah dan memakai pakaian yang diperuntukkan bagi para ibu-ibu. Sungguh mengenaskan.

Source : Pinterest

Dan apa alasanku menulis postingan sepanjang ini kali ini?

Ya. Satu hal. Ibuku yang bekerja di Kantor Disnakertrans menawariku kesempatan mengikuti kursus yang dilaksanakan selama lima bulan oleh BLK. Satu bulan program pelatihan dan empat bulan lagi magang. Awalnya aku agak ragu karena aku berencana sehabis ujian skripsi yang memberikan gelar SE di belakang namaku, aku ingin langsung mencari kerja yang sesuai dengan bidangku tanpa menunggu wisuda di Juni. Lagipula, meski ingin menjadi perancang busana, aku sama sekali tidak ingin menjadi penjahit yang kerjanya monoton namun upahnya tidak sesuai UMR.

Namun, setelah berpikir masak-masak, aku akan mengambil kesempatan pelatihan ini. Para perancang busana profesional yang telah diakui adalah mereka yang pernah sekolah fashion. Mendesain tidak hanya tentang menggambar. Itulah hambatan yang ku temui selama ini. Aku mengerti sedikit banyak tentang basic fashion rules, aku tidak buta sama sekali soal jahit menjahit. Aku mampu membuat pakaian-pakaian berpotongan sederhana, namun keterbatasan pengetahuanku tentang teknik menjahit menyumbat ide-ideku. Aku tidak bisa membayangkan model-model pakaian yang rumit dan tidak bisa membayangkan letak jahitan dan potongannya. Hal itu membatasiku. Ide-ideku tidak bisa meninggi bila pondasiku rapuh. Lagipula, aku tidak punya modal. Sehingga aku tidak bisa harus terus membayar penjahit yang ongkosnya sungguh mahal di awal-awal nanti. Lagipula, tidak semua penjahit itu kreatif. Beberapa kali aku temukan hasil jahitan yang ku terima tidak sesuai dengan keinginanku, mendekati pun tidak. Ada beberapa hal yang tidak bisa dipelajari secara otodidak, termasuk teknik menjahit. Untuk hal lain seperti tema, padu padan warna dan motif, gambar desain kasar, dan pemasaran bisa ku pelajari sendiri dari buku-buku dan internet.

Jadi, sepertinya aku tidak bisa langsung terjun ke dunia akuntansi. Aku akan beralih ke mimpiku yang lain untuk sementara. Selepas ini, aku janji akan kembali ke dunia akuntansi karena aku sudah terlalu terpikat dengannya. Akuntansi itu pasti dan bekerja di bidang itu menjanjikan ketetapan dan sumber daya besar. Citranya baik. Meski aku sangat menghargai kerja kreatif, harus ku akui bahwa penulis dan perancang busana  bukanlah profesi-profesi yang menghasilkan kemapanan. Setidaknya tidak secara instan. Padahal ketahanan finansial adalah salah satu tujuanku dalam hidup. Uang yang cukup memberikan ketenangan. Aku menonton di salah satu film yang  tentang psikologi yang psikiaternya menjelaskan bahwa bila kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan telah terpenuhi, barulah manusia punya keistimewaan untuk melangkah lagi ke tahap pemenuhan kebutuhan lainnya, yaitu aktualisasi seni. Lagipula, mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan untukku. Berbeda dengan menulis yang hanya butuh banyak latihan dan banyak membaca, fashion butuh pengajaran dan praktik langsung kepada ahlinya. Meski keinginanku menjadi perancang busana sama kuatnya dengan mimpiku yang lain, sesungguhnya sebelum ini aku belum bisa melihat jalan ke arah sana. Dan tepat saat aku akan lulus, ada kesempatan ini yang ditawarkan di depan mataku. Ini adalah jawaban, kan?