Senin, Juli 28, 2014

A Stained Heart

Jadi, akhirnya bulan Ramadhan selesai dan hari ini kita merayakan hari raya idul fitri. Alhamdulillah. Mudah-mudahan tahun depan bisa menjumpai bulan yang istimewa dan hari spesial seperti ini.


Aku ingat saat masih kecil, sampai kira-kira SMP. Bahagia sekali rasanya menyambut hari raya. Berdebar-debar, exciting, semangat, bergembira bersama anak-anak kecil lain membicarakan tentang baju baru, kue-kue, rencana pesiar, dan hal-hal lain.

Dulu, kompleks tempatku tinggal ini setiap hari raya idul fitri punya acara pesiar bareng satu kompleks ke rumah-rumah yang jauh. Terasa sekali kebersamaannya. Naik motor bersama keluarga dan keluarga-keluarga lain, kadang dapat hagala [ istilah untuk amplop hari raya ]. 

Sejak tiga tahun lalu, hari raya idul fitri sudah mulai terasa biasa bagiku. Bukannya tidak senang atau apa. Makna hari raya masih sama besarnya bagiku, masih sama istimewanya, apalagi di usia remaja akhir ini setiap bulan puasa sudah mulai ikut balapan beramal dan mengejar pahala. Jadi, lebaran terasa begitu nikmat setelah berjuang selama sebulan. Yang berkurang kesannya adalah kebiasaan.

Berpelesir dan bersilaturahmi.

Mungkin dikarenakan sifat introvert dan antisosialku, bersosialisasi saat hari raya terasa sangat membebaniku. Soal saling maaf-maafan, sepertinya cuma terasa di mulut saja. Aku ini orang yang paling tidak suka senyum-senyum atau berbaik-baik sama orang yang sebenarnya masih ku gerundeli. Ku pikir orang lain juga seperti itu. Hanya saja, mereka kebanyakan bukan menampakkan ketidaksukaan, melainkan senyum palsu dibuat-buat lalu meminta maaf padahal dalam hati sebenarnya tidak bermaksud saling memaafkan. Kata maaf begitu sakral untukku. Aku tidak akan minta maaf jika aku tidak merasa bersalah meski orang lain mengganggapku salah. 

Source : Pinterest

Bukannya itu bertentangan dengan makna saling memaafkan yang sebenarnya ?

Bahwa meminta dan memberi maaf haruslah dilakukan dengan tulus sehingga tidak ada lagi rasa saling benci dan tidak senang setelahnya. Benar, kan ?? Seharusnya setelah itu tak ada lagi acara mengungkit-ungkit kesalahan yang sudah terlewat. Betul, kan ?

Balik ke soal introvert, bukan hal asing bagi orang sepertiku untuk selalu merasa ingin sendirian. Ini tidk berhubungan dengan depresi atau bipolar yang ku alami. Sifat introvert memang seperti itu, kurang nyaman bergaul bersama orang lain, selalu ingin menenmukan tempat untuk sendirian. Keramaian justru membuatku tertekan. Apalagi kalau jalan bareng muda-mudi, rasanya tidak enak hati melihat sikap-sikap kekanakan dan tingah polah puber mereka. 

Atau mungkin hatiku saja yang sudah berkarat  Jiwa muda yang mengalami penuaan dini. Orang seusiaku memang seharusnya bergaul dengan siapa saja, pergi kemanapun kaki membawa, dst dst. Tapi, entah mengapa semua itu tidk membuatku tertarik. Bagiku, definisi kesenangan dan ketenangan adalah tempat sepi yang sejuk, akses internet tak terbatas, tumpukan buku-buku yang belum dibaca, musik mellow, mungkin secangkir dua cangkir cappuccino panas, dan...kesendirian. Sendiri sehingga pikiranku lapang tanpa ada intervensi orang lain, tanpa ada perasaan apapun yang ditimbulkan oleh kegiatan interaksi, sendiri sehingga aku dapat merasakan diriku sendiri.

Source : Here

Ah, sudahlah. Mungkin aku saja yang terlalu melodramatis, menganggap ini semua terlalu serius. Hari ini bukan tentang aku, tapi tentang kita semua umat islam yang merayakan hari besarnya.

HAPPY IED MUBAROK 1435 H.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.