Kamis, Agustus 07, 2014

Scene..

Dear, Rega....

Pengalaman pertamaku naik kereta adalah ketika berumur 17 tahun dan baru lulus SMA. Ketika itu aku melarikan diri dari rumah untuk yang kesekian kalinya. Hanya saja, itu pertama kalinya aku tidak punya tempat yang dituju. Itulah satu dari sedikit hal yang hilang dariku karena sekolah di tempat yang jauh dari rumah. Teman-teman dekatku juga berada di kota-kota yang jauh, dan teman-teman saat SMP sudah hanya jadi sekedar kenalan biasa saja yang tak mungkin dibebani dengan masalah-masalah yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Jadi, saat itu sekitar pukul delapan pagi saat aku memutuskan pergi setelah bertengkar hebat dengan Ibu. Uang yang ku pegang tidak lebih dari dua ratus ribu. Aku hanya terpikir membawa satu setel pakaian di ransel dan handphone. Hanya ada satu tujuan di kepalaku : pergi kemanapun asal tidak di kota ini.

Sepanjang perjalanan aku sms-an dengan Liliana, menanyakan sedetail mungkin cara naik kereta. Aku tidak menceritakan masalahku, tapi dia menjawab kekhawatiran dan ketakutanku. Katanya, saat ini transportasi umum sudah aman jadi aku tidak perlu takut. Tinggal naik saja kereta yang benar dan turun di stasiun yang benar pula. 

Di pintu gerbang stasiun aku tertegun melihat begitu banyaknya kerumunan orang berjubel. Kumal, kusam, berantakan, dan kotor. Dan banyak mata menatapku. Seolah tahu bahwa tidak seharusnya aku berada di situ. Seolah tahu apa yang ku tinggalkan, dan apa yang ku bawa. Semua kursi penumpang penuh. Dan aku duduk di lantai di sudut stasiun, gemetaran tak terkendali. Aku melewatkan kedatangan dua kereta. Ku pikir stasiun sama seperti bandara ketika pesawat telah tiba, lama kelamaan akan semakin sepi. Ternyata justru semakin ramai. Aku lapar, khawatir, marah, takut, sedih, dan putus asa. Ada seorang petugas mendatangiku dan menanyakan tujuanku. Aku bilang aku menunggu teman yang akan pergi bersama-sama. Aku tahu dia tidak percaya, terutama karena sudah hampir dua jam aku  tak beranjak dari situ. Tapi, tiba-tiba saja aku ingat nenekku yang tinggal di Solo. Lalu, aku langsung ke loket dan membeli tiket jurusan Solo yang kebetulan, menjadi kereta berikutnya yang tiba.

Untung saja perjalanannya menyenangkan. Keretanya tidak terlalu penuh, jadi gampang saja mendapatkan tempat duduk yang kosong. Dan beberapa saat kemudian, ada seorang penjual makanan kecil yang menyenangkan memilih duduk di kursi di belakangku dan mulai bercerita panjang lebar tentang insiden pengrusakan kereta ini oleh suporter bola salah satu klub di tanah air tiga hari lalu. Itu menjelaskan mengapa kereta ini kelihatan habis mengalami tabrakan hebat. Pendek kata, aku tiba dengan selamat di Solo dan nenek menjemputku di stasiun kereta.

Dari peristiwa itu aku sadar bahwa pelajaran hidup sering terjadi bersamaan dengan hal-hal yang tidak enak. Dalam hal ini, peristiwa menyakitkan di rumah yang membuatku kabur ternyata juga memberiku pengalaman naik kereta pertama kali. Memang terlihat kecil dan tak berarti bagi orang lain, tapi untukku itu sangat berharga mengingat ketakutan berlebihanku untuk pergi sendirian menuju tempat yang asing.

Sayangnya, ternyata  sebuah pengalaman yang terasa menyenangkan di suatu waktu belum tentu terasa sama menyenangkannya di waktu yang lain. Lebih tepatnya, naik keretaku yang sekarang [ ini kedelapan kalinya, ngomong-ngomong ] tidak terasa semenyenangkan yang pertama dulu. Memang saat ini aku sudah berani dan hampir yakin dengan tempat tujuanku. Namun, keretanya penuh. Dan aku membawa koper. Sulit sekali berjalan dengan menarik [ dan kadang mengangkat ] koper di antara lorong-lorong kereta. Kardus dan tas jinjing diletakkan di tengah lorong, padahal ada ruang kosong di bawah kursi si empunya. Sepertinya mereka tak mau repot, atau tidak mau mengurangi kenyamanan menyelonjorkan kaki. Kadang hidup bisa menjadikan seseorang begitu egois dan kejam. Tega mengesampingkan kebutuhan orang lain hanya untuk sedikit kepuasan pribadi.

Aku harus menyusuri dua gerbong sebelum mendapat tempat duduk. Bisa lebih lama lagi, jika aku tidak memberanikan diri duduk bersama rombongan orang asing.

Aku duduk bersama satu keluarga yang beranggotakan Ayah, ibu, dan tiga anak kecil yang dua diantaranya terlalu lincah dan yang satu masih menyusui dalam pelukan ibunya. Ini tempat teraman yang bisa ku dapat. Ada bangku-bangku lain yang masih kosong satu atau dua, hanya saja kalau tidak berhadapan dengan anak-anak muda perokok berpakaian preman, maka om-om lusuh yang terlelap dengan pulas, atau gerombolan cewek-cewek alay yang terlalu ribut dengan gosip-gosip mereka. Yah, lebih baik aku duduk bersama keluarga ini saja. Mereka sibuk dengan anak-anak mereka sehingga tidak sempat berbicara denganku, suatu hal yang ku syukuri. Dua anak mereka memang sedikit ramai dan hiperaktif, tapi setidaknya mereka tidak palsu atau memandangku dengan tatapan menilai. Dan jelas tidak ada kemungkinan bahwa entah bagaimana mereka adalah penculik wanita, atau pembunuh berantai, atau yah….yang lagi ngetren sekarang, penghipnotis sekaligus pencopet yang sedang menyamar.

Maka, disinilah aku. Masih tiga jam lagi sebelum sampai di Bandung. Waktu yang cukup lama untuk memikirkan sesuatu. Dan aku mendapati diriku menulis ini, di agendaku pula. Entah mengapa aku menulis namamu di atas. Mungkin karena aku sedang butuh teman bicara, dan tidak mungkin aku menelepon atau mengirimimu pesan setelah apa yang ku lakukan padamu. Kaulah orang terdekatku akhir-akhir ini. Dan aku tidak bisa memikirkan orang lain untuk ku tulis namanya. Surat tradisional seperti ini, harus bernama kan ? Maksudku, mungkin bagimu untuk mengirim sms kepada siapa saja, bahkan dengan orang tak kau kenal yang nomornya hanya kau ketik secara acak. Tapi tidak dengan surat. Tidak ada surat anonim. Bahkan jika kau tak mencantumkan namamu sebagai pengirim, kau tetap harus membubuhkan nama orang yang ingin kau kirimi surat.

Tidak ada yang spesial. Hanya saja aku mendapati ternyata mudah menuliskan sesuatu ketika itu ditujukan padamu. Hampir seperti bercakap-cakap yang biasa kita lakukan. Perbedaannya adalah kau jadi bayangan imajiner di kepalaku. 

Karena bayangan imajinermu tidak mungkin memarahiku, maka ini kesempatanku untuk sekali lagi bilang maaf. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Apalagi mencoba mendebatkan alasanku yang memang ku sadari begitu lemah. Ini yang bisa ku katakan : kau ingat pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang takdir ? dan firasat ? dan kesempatan kedua ?.Nah, saat ini aku sedang mengejar semua itu. Kau sendiri yang berpendapat bahwa firasat-firasatku banyak benarnya. Dan aku punya perasaan bahwa firasat kali ini akan menuntunku kepada sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang sudah sekian lama ku cari jawabannya. Ini adalah kesempatanku mencari jalan takdirku, memastikan bahwa aku tidak akan menyesal di waktu-waktu mendatang.

Kalau kau masih tidak mengerti, aku tak akan memaksanya. Toh surat ini juga tak akan sampai padamu. Aku hanya iseng menulis ini, ingat ?

Dari atas kereta takdir,

M-renz

Salah satu konsep surat dalam satu rencana novelku. Ceritanya tentang cinta di masa lalu. Judulnya Unchanging Things. Tokohnya bernama Maren, Billy, dan Rega.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.