Kamis, Oktober 31, 2013

The Box Of My Childhood Memories : The Library And The Sephia Nostalgic

Source : Here

Ketika mengetahui bahwa blog ini akan membuat Give Away yang berhubungan dengan perpustakaan, aku sangat bersemangat. Banyak kisah hidupku yang bertalian dengan perpustakaan. Kalau diceritakan semua mungkin akan memakan waktu yang cukup panjang. 

Karena event Give Away itulah, aku memutuskan akan mengunjungi Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, tempat penuh nostalgia bagiku. Namun sayangnya, karena tersita kesibukan kuliah dan organisasi kampus yang memakan waktu bahkan sampai akhir minggu, rencana itu terus tertunda dan akhirnya tak terlaksana. Pada hari ini, hari terakhir pelaksanaan Give Away itu, barulah aku dapat menyempatkan diri kesana. Sayangnya, karena sudah cukup sore, maka yang menyambutku hanyalah keheningan dan tanah lapang yang kosong. Beruntung pintu gerbangnya masih belum ditutup. Karena itu, aku masuk ke lingkungan PerpusDa itu dan membekukan dalam gambar beberapa tempat yang menjadi kunci pembuka kotak kenangan masa kecilku. Aku setengah berlari mengelilingi tempat itu dengan HP Kamera di tangan, dengan ingatan-ingatan berwarna sephia yang berlomba meluap ke permukaan sadarku.

Dan...Inilah catatan perjalananku..

Melewati sepanjang jalan ini, seakan memasuki dimensi lain dari perspektifku. Ada pintu gerbang tak kasat mata yang akan terbuka hanya untukku, pintu menuju satu lembar pertama dari buku hidupku. Sepenggal cerita itu bernama masa kecil.

Jalan Penuh Nostalgia

Sejak aku mulai bisa mengingat, sepertinya di tempat inilah kehidupan masa kecilku dulu bermuara. Sekolah dasarku di ujung jalan ini. Dan di ujung lainnya adalah tempat penuh keajaiban yang tak pernah berhenti memberi kejutan, perpustakaan.

Aku generasi kelahiran tahun 1991. Memasuki sekolah dasar di usia empat tahun lebih pada tahun 1996. Jadul amat, ya ? Ha..Ha..Ha. Aneh rasanya memikirkannya.

Apa yang muncul di ingatan ketika menyebut tahun 1996 ? Ya. Tepat. Kuno, jadul, dan….. sepertinya zaman sekarang udah nggak bisa dibayangkan deh. Saat itu kota kelahiranku ini, Kota Palu, sebagian besar daerahnya belum dicapai oleh aliran listrik, termasuk rumahku. Jalan-jalan masih sempit, dan pada pukul tujuh malam sudah sepi dan gelap tanpa satu kendaraan pun yang lewat. Di kompleks rumahku hanya ada tiga rumah. Teknologi paling mutakhir yang kami terima adalah radio. Permainan yang kami, anak-anak lakukan untuk mengisi waktu adalah memanjat pohon, petak umpet, masak-masakan, jual-jualan, rumah-rumahan, baju-baju, kejar-kejaran dan sejenisnya.

Suram ? Untungnya tidak. Aku justru bersyukur terlahir di zaman itu. Karena aku punya kesempatan untuk mengenal perpustakaan. Di zaman ketika hiburan begitu terbatas, maka buku menjadi salah satu sumber hiburan utama.

Well, thanks for my beloved mummy for that.


My Beloved Mommy

Saat aku masih kecil dan belum punya saudara, kedua orangtuaku sibuk bekerja. Ayah bekerja di pabrik tempe, dan ibu bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan. Lingkungan sekitarku masih hutan dan sangat sepi sedangkan sekolah dasarku pulang pagi. Karena itu, setelah menjemputku dari sekolah, ibu mengantarkanku ke perpustakaan daerah dan meninggalkanku disana sampai jam dua siang, ketika beliau pulang.


Alumni Sekolah Dasarku

Setiap hari sabtu, sudah jadi rutinitas wajib kami untuk pergi ke perpustakaan. Karena hari sabtu kantor Ibu libur, maka setelah menyelesaikan pekerjaan rumah beliau langsung ke perpustakaan. SD-ku tidak jauh dari perpustakaan, maka sepulang sekolah aku langsung menyusul Ibu kesana sampai jam empat sore, jam tutup perpustakaan. Ibu juga adalah seorang nerd. Dan hal itu menular dengan sangat sukses kepadaku, anak pertamanya.

Maka disanalah, dari kelas satu SD aku sudah bergaul dengan Asterix dan Obelix, Lucky Luke, Smurf, Tintin, dan komik-komik lain. Ada juga buku dongeng La Fontaine yang berisi kisah-kisah hikmah tumbuh-tumbuhan dan binatang, serta buku komik elex tokoh-tokoh terkenal dunia, seperti Beethoven, Maria Antoinette, Napoleon Bonaparte, dan lain-lain. Mungkin saat itu akulah anggota termuda di perpustakaan itu. Untung saja aku sudah lumayan lancar membaca di usia yang sangat dini. Aku kenal setiap seluk beluk rak-rak buku dan sudut-sudut nyaman di tempat ajaib itu. kegiatan favoritku adalah melipir rak sampai ke rak paling ujung, menikmati sensasi tersesat di tempat rahasia yang tak diketahui orang lain. Beautiful.

Asterix & Obelix
Source : Here


Lucky Luke
Source : Here

Tin-Tin & Snowy
Source : Here

Jika sudah mulai lelah membaca, aku keluar menuju halamannya yang ( dulu ) rindang, hijau, dan asri. Kadang hanya duduk dan menatap lalu lalang kendaraan pengunjung perpustakaan yang datang dan pergi. Ya, dalam ingatanku, Perpustakaan ini dulu adalah tempat yang ramai namun syahdu. Banyak orang datang, namun semuanya tenggelam dalam dunia yang terangkum dalam lembar-lembaran buku di hadapan mereka masing-masing.


Ku tatap seantero halaman Perpustakaan Daerah ini.


Saat SMP, frekuensi kunjunganku ke tempat ini mulai berkurang. Kemudian aku melanjutkan bangku SMA di kota lain. Dan saat kembali ke kota ini tiga tahun lalu, aku sempat beberapa kali mengunjungi perpustakaan ini lagi. Kalau tak salah, terakhir kali saat aku semester tiga. Sejak saat itu tidak pernah lagi sampai sore ini.

Perpustakaan ini sangat banyak berubah. Jika dulu, kesanku tentang tempat ini begitu monokrom, maka sekarang hanya warna kelabu yang kusam. Mungkin karena perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Orang tidak mau lagi repot-repot pergi ke perpustakaan, memilih-milih ribuan buku, lalu membaca setiap kalimat satu persatu untuk mencari sepatah dua patah kata yang mereka perlukan. Internet telah menggerus warna tempat ini.

Tampilan dari luar saja sudah sangat mengganggu. Tembok namanya bocel dan huruf-hurufnya sudah banyak yang lepas.


Di atas bangunan megah ini dulu terpampang dengan gagah papan nama “ PERPUSTAKAAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH “ . Sekarang sudah lenyap.


Saat aku SMP, pojok taman ini dipenuhi dengan anak-anak kecil yang bermain. Dulu disini ada jungkat-jungkit, ayunan, ban-ban, dan permainan anak-anak TK lain. 


Saat ini, hanya tinggal seonggok benda ini yang menjadi saksi bagaimana jayanya tempat ini dulu. Benda ini, entah mainan apa namanya, terlihat sendirian di tengah-tengah lapangan luas yang gersang dan kelabu, tubuhnya dipenuhi karat dan kotoran. Benar-benar merepresentasikan keadaan Perpustakaan ini sekarang.


Di masa kanak-kanakku, tempat parkir ini tak pernah sepi dari barisan kendaraan. Di bawah pohon ketapang ini dulu aku biasa duduk atau malah berbaring di selimut tebal rerumputan.


Selain masalah prasarana yang sudah layak dimuseumkan, ada beberapa hal lain yang membuat orang enggan mencoba memasuki tempat ini. Pertama, koleksi bukunya benar-benar memprihatinkan. Terakhir kesana, sudah tak ada lagi buku-buku fiksi ajaib yang menghanyutkan itu. Rak-rak besi berdebu hanya berisi buku-buku sejarah dan ilmu pengetahuan terbitan lama. Sepertinya memang saat ini posisi perpustakaan ini hanyalah sebagai gudang arsip umum. Hanya didatangi oleh orang-orang yang sangat memerlukan cerita dari masa lalu. Kedua, birokrasi pembuatan kartu anggotanya yang rumit. Kalau ini sebenarnya memang sudah sejak dulu. Kalau ada warga umum yang ingin membuat kartu anggota, mereka harus minta tandatangan ketua RT. Jika itu siswa, maka yang harus membubuhkan tandatangan adalah kepala sekolah. Bila mahasiswa, maka yang bertandatangan adalah dekan. Bayangkan, bagaimana susahnya mencari tandatangan dari orang-orang diatas. Tentu saja banyak yang mundur, termasuk aku yang paling malas kalau disuruh menghadap dosen. Ketiga, tidak pernah ada inovasi atau kegiatan menarik yang dapat memancing minat baca, atau paling tidak minat orang berkunjung ke tempat ini. Keempat, pustakawan dan pustakawatinya tidak begitu menyatu dengan perpustakaan ini. Mereka bergosip dengan ributnya di ruang baca, hal yang tentu sangat mengganggu para penikmat buku.

Karena alasan-alasan itulah, sampai saat ini aku belum pernah menginjakkan kaki ke dalam perpustakaan ini lagi. Formulir pendaftaran anggota pun masih tersimpan di map arsipku. Untuk memnuhi kebutuhan dan obsesi membacaku, aku beralih ke tempat penyewaan buku yang meski mahal, sesuai dengan kenyamanan dan judul buku yang ditawarkan. Atau, aku mendownload berbagai jenis bahan bacaan mulai dari fiksi sampai non fiksi lokal maupun terjemahan di internet.



Meski begitu, tetap terasa ada yang kurang. Pada dasarnya aku mengenal buku dari perpustakaan. Asosiasi dan kesan yang sudah tersetting dalam diriku adalah bahwa buku dan perpustakaan adalah pasangan yang saling melengkapi. Buku tanpa perpustakaan seperti sayur tanpa garam, bisa dimakan namun kurang nikmat.

Mungkin karena sejak kecil sudah sangat terbiasa dengan Perpustakaan, maka sampai sekarang Perpustakaan seperti sudah jadi tempatku. Tahu kan..kalau setiap orang di dunia ini punya tempatnya masing-masing, tempat mereka merasa nyaman dan aman. Tempat mereka merasa menerima dan diterima tanpa khawatir apapun. Bagiku, tempat alamiku adalah perpustakaan. Ada semacam sugesti otomatis yang sudah tertanam kuat dalam diriku, bahwa perpustakaan, dimanapun tempatnya akan selalu membuka pelukannya untukku. Meski di perpustakaan yang belum pernah ku kunjungi, jika sudah melangkah melewati ambang pintunya, maka suasana khas akan menyambutku. Bukan dari pustakawan-pustakawatinya, sarana dan fasilitasnya, atau apapun itu. Tapi, karena memang itu adalah perpustakaan. Saking sukanya, saat pelajaran bahasa inggris di SMA, aku pernah meneriakkan impianku di depan kelas " I Want To Build My Own Library ". Saat itu teman-temanku hanya berdecak sambil menatapku aneh.

Aku sering merasa kasihan pada adik-adikku dan anak-anak masa sekarang. Sedari lahir mereka sudah terpapar oleh kecanggihan zaman yang kadang menggerus indahnya masa kecil yang seharusnya penuh petualangan. Ku pikir, suatu saat nanti perpustakaan dan buku akan menjadi tempat dan benda yang asing, sama seperti asingnya teknologi di masa kecilku. Sayang sekali. Karena di dunia ini, tak ada tempat lain seperti perpustakaan. 

Source : Here

Aku juga ingin agar kelak suatu saat mempunyai anak-anak, untuk mendidik mereka seperti ibu mendidikku. Aku berjanji, jika saat itu tiba, bahwa tempat umum pertama yang ingin ku kunjungi bersama anak-anakku adalah perpustakaan.. Aahh.. Mudah-mudahan aku dapat suami yang juga mencintai Buku dan perpustakaan..

Source : Here

Demikianlah catatan perjalanan singkatku yang hanya berdurasi sekitar satu jam. Panjang sekali, ya. Padahal ini masih satu bab dari tumpukan buku ceritaku. Masih ada begitu banyak pengalaman dan kenanganku tentang Perpustakaan dan Buku. Mudah-mudahan di lain kesempatan aku dapat menuliskannya lagi.

Buat mbak Luckty, terima kasih ya karena sudah mengadakan Give Away ini. Rasanya senang bisa mengingat kembali hal-hal indah dari masa kecil. 

Bismillahirrohmanirrohim.. Mudah-mudahan Menang ya Alloh... :D

Postingan ini diikutsertakan dalam event Library Give Away yang diadakan oleh pemilik blog ini..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.