Kamis, September 11, 2014

New Gate

Source : Pinterest

Ada rasa takut yang tak dapat dijelaskan setiap kali memikirkan tentang pernikahan.

Seorang kolega yang sudah berstatus sebagai seorang ibu, usianya tiga tahun di atas saya, mengomentari pernyataan ketakutan saya ketika kami membicarakan tentang pernikahan. 

" Apa sih yang ditakutkan, mbak ?"

Saya terdiam sejenak. Mencoba menemukan kata-kata sederhana yang cukup logis untuk orang "biasa" seperti dia. Mencoba menyusun alasan masuk akal yang biasanya diungkapkan orang-orang atas pertanyaan seperti ini.

Saya akhirnya menjawab," Aneh aja rasanya, mbak. Lebih enak sendiri. Sudah terbiasa. Kalo udah nikah kan jadinya terikat gitu, kurang bebas,"

Kolega saya itu menanggapi dengan senyum yang di mata saya terlihat berusaha memahami," Ya nggak juga sih, mbak. Belum terbiasa aja kok. Nanti kalo udah kan nggak takut lagi. Saya kira mbak takutnya seperti saya dulu. Takut tidur sama-sama dan bla bla bla,"

Saya tahu gerbang itu akan mendatangi saya cepat atau lambat. Selama ini, saya sudah berhasil menghindarinya dengan status umur dan status mahasiswa saya. Berlindung di balik alasan " belum siap " yang cukup mudah dimaklumi melihat keadaan saya.

Tapi, setelah saya menjadi sarjana dan bisa menghidupi diri sendiri, saya tidak yakin ada alasan yang cukup benar lagi. Apalagi saya anak pertama. Dan adik-adik saya perempuan semua. Saya juga ingin mengabulkan keinginan tersembunyi Ayah saya untuk menggendong seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang pernah nyaris dimilikinya. Dan mereka lenyap karena keberadaan saya.

Masalahnya, saya begitu takut dan panik.

Apakah ada laki-laki yang bisa menerima keadaan saya ? Kondisi saya ? Ketidaksempurnaan saya ? Masa lalu saya ? Kegelapan & rahasia-rahasia gelap saya ? Apakah laki-laki itu bisa mencintai saya seperti jika saya menyerahkan cinta saya pada seseorang ?

Lucunya, saat ini saya sudah mulai memikirkan perceraian dan perpisahan. Padahal ketemu calon suami saja belum. Saya sudah membayangkan apa yang terjadi jika semuanya tidak berjalan sesuai keinginan. Jika pernikahan tidak bisa menyelamatkan saya.

Kehancuran.

Source : Pinterest

Saya punya penyakit insecure berlebihan atas perlindungan diri. Saya sangat sensitif bila ada orang lain menyakiti saya, akan saya balas tidak peduli siapa itu. Sesuatu yang membuat saya sering dicap sebagai cewek kasar dan tidak tahu sopan santun. Sesuatu yang membuat keluarga saya sekarang memilih jarak aman dari saya. Sesuatu yang membuat orang-orang cukup pintar untuk menempatkan saya di luar daftar orang favorit mereka. Hal yang tidak pernah sedikitpun saya sesali, sungguh. 

Tapi, akan jadi beda ceritanya kalau saya melakukan itu pada suami saya kelak. Bertentangan dengan semua kesinisan saya, sebenarnya saya berusaha percaya bahwa pernikahan adalah jalan terakhir yang tersisa bagi saya untuk menemukan kebahagiaan. Menemukan seseorang. Menemukan keluarga yang saya harapkan. Untuk membagi sedikit beban saya tanpa takut dihakimi, menguatkan saya untuk menghadapi setan-setan dari masa lalu. Sesuatu yang saya tahu tidak akan sanggup saya hadapi sendiri, tak peduli seberapa kuatnya saya. Dan yang paling penting, saya butuh alasan nyata untuk menjalani hidup.

Dan bagaimana jika saya tidak bisa mendapatkan semua itu kelak ? Bagaimana jika pernikahan justru akan semakin menghancurkan saya sementara saya beranggapan bahwa gerbang pernikahan adalah kesakralan satu arah yang tidak punya jalan mundur ? Saya banyak melihat kisah-kisah kehidupan berumah tangga di sekeliling saya, termasuk rumah tangga orang tua saya. Dan dari semuanya, saya belum dapat menemukan sesuatu yang bisa membuat saya lebih berani menghadapi pernikahan.

Saya ingin pasangan hidup saya kelak bisa menyelamatkan diri saya.

Dan oh, Tuhan. Lelaki waras mana yang mau menerima beban berat itu dengan sukarela sementara begitu banyak gadis-gadis lain yang lebih cantik dan lebih tidak merepotkan. Gadis-gadis yang patuh, tidak neko-neko, tidak punya rahasia gelap, keinginan-keinginan aneh, lugu, manja, dan bersedia menjalani peran sebagai objek halal pemuas nafsu dan mesin penghasil keturunan asalkan mereka bisa menyandang status sebagai istri seseorang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.