Senin, November 03, 2014

Hidden Passion : Volunteer

Source : Pinterest

Kesibukanku akhir-akhir ini, mengurus proposal skripsi yang tertunda selama setahun lamanya. ada beberapa masalah administrasi terkait dengan kadaluarsanya SK Pembimbing, tapi pada intinya semua berjalan dengan amat lancar.

Sudah empat kali total tatap muka dengan si Bapak pembimbing II, tapi baru 1x yg dihitung sebagai konsultasi. Pertemuan ketiga, dia coret semua proposalku. kebanyakan terkait masalah teknik penulisan yang memang sebetulnya memang aku nggak begitu telaten masalah begituan.

Sudah diprint bagus-bagus untuk ketiga kalinya, versi ketiga kemarin itu ( Jum'at ) tebel banget untuk ukuran proposal. Hampir 50 halaman. Aku udah pede banget tuh menghadap karena udah ku tambah-tambahin dari berbagai buku. Dalam bayanganku, dia bakal mengangguk-angguk terus nyuruh ngurus surat permohonan ujian di pengajaran karen amemang targetku minggu ini sudah harus selesai bimbingan ke pembimbing I dan II.

Ternyata kenyataan tak seindah khayalan. Jangankan buka proposalku yang rapi dan cantik itu. Dia malah kuliah panjang lebar nyuruh aku bikin ulang proposalku karena menurutnya latar belakangku yang sekarang itu, " cuma metodenya yang kualitatif, tapi rasanya masih kuantitatif". Memang sih, aku bikinnya cuma copas berbagai jurnal & artikel ( tetep nyantumin sumber, dong ) karena dikejar waktu. Dan empat pertemuan sebelumnya dia nggak ada masalah tuh.

Yang bikin aku menarik kesimpulan : Wah, ternyata dia baru baca baik-baik proposalku ini. Dia baru tertarik, mungkin saja dia baru merenungkannya malam sebelumnya, atau pas dia ngawas ujian mid sebelumnya ( karena ceritanya aku disuruh nunggu sampai dia selesai ngawas ujian). 

Dia menantangku, bilang bisa tidak aku merubah latar belakang itu menjadi kalimat-kalimatku sendiri. Sisipan pendapat orang lain cukup satu dua paragraf saja. Dia juga bertanya apa aku suka menulis, dan kenapa aku tertarik pada kualitatif yang metodenya memang sangat abstrak. Ku jawab sekenanya saja sambil ketawa-tawa. Aku  menjanjikan proposalku senin ini.

Aku memang perlu  menjawil diriku sendiri. Masak aku ini, yang cita-citanya menjadi penulis, yang juga adalah seorang senior di sebuah lembaga pers dengan jam terbang yang cukup, penulis blog, dan maniak buku, tidak bisa membuat sebuah proposal karya asli? Ternyata bisa. Aku mencari ide selama dua hari dan mulai menuliskannya siang tadi. Begitu kalimat pertama terketik, selanjutnya ternyata sangat lancar. Aku hanya perlu browsing sedikit untuk melengkapinya dengan fakta dan data disana-sini agar tidak menjadi karya fiksi. Sebelumnya, aku berasumsi bahwa Bab I-nya akan menyusut. Ya, aku tidak cukup percaya diri untuk bisa menulis sesuatu sebanyak 13 halaman. Eh, ternyata setelah selesai sama saja. Bab I tetap 13 halaman. Ternyata aku ini lumayan juga, ya.

Jadi, itu tidak masalah. Yang bikin aku kesal adalah mengapa si Bapak itu tidak nyuruh begitu dari awal? Bayangkan pas koreksi pertama itu lama banget dia "bedah' proposalku. Coret sana coret sini. Kan buang-buang waktu namanya. Terus proposal versi ketiga itu, yang dia nggak koreksi dan suruh bikin ulang, kan jadinya kertasnya mubadzir. Itu bikin aku jengkel. Apalagi tema proposalku adalah tentang akuntansi hijau, yang  mana di dalamnya aku tegas dan keras banget menyoroti masalah eksploitasi SDA oleh manusia demi kepentingan hidup dan industri.

Mubadzir kertas ikut mempercepat habisnya hutan-hutan Indonesia oleh Illegal logging

Yang aku syukuri selama penyusunan proposal ini, aku baru sadar bahwa aku ini punya kelebihan yang berguna yaitu rentang konsentrasiku yang amat panjang. Memang agak susah bagiku untuk konsen karena ide-ideku yang banyak dan perhatianku sangat  mudah teralih. Namun, begitu bisa memasuki mode konsentrasi, maka aku akan benar-benar fokus. Ku perhatikan, aku bisa konsen selama kurang lebih 36 jam. Dan asyiknya, aku mendapati bahwa kalau kerjaanku yang butuh konsentrasi itu belum selesai tapi karena lelah aku berhenti sejenak untuk melaksanakan aktivitas lain seperti masak, makan, nonton film, menyanyi, membaca, mencuci, bahkan tidur, otakku tetap siap siaga pada kerjaan yang belum selesai itu. Pikiranku seperti sudah terikat pada hal itu dan tidak teralih meski fisikku berpindah-pindah. Berguna banget, kan?

Oh ya, berkaitan dengan penyusunan proposal itu, aku kan browsing-browsing tuh terutama mengenai kasus-kasus pencemaranalam oleh industri. Dan sumpah, aku nangis waktu baca tentang kisah tragedi Teluk Minamata di Jepang. Bukan pas tragedinya, tapi upaya negara itu untuk menjaga lingkungannya agar tidak terjadi hal serupa. Masyarakat Jepang itu belajar dari pengalaman, makanya nggak heran mengapa setelah diluluh lantakkan bom atom Hiroshima-Nagasaki, mereka cepet banget bangkitnya. Ck...ck...ck. Tapi abis itu aku emosi berat waktu baca tentang kasus Lapindo. Urghh..Rasanya pengen banting laptop saking sebelnya sama perusahaan itu & juga pemerintah yang nggak tegas dan penakut.

Abis itu, aku jadi punya keinginan untuk menjadi seorang volunteer pelestarian lingkungan hidup. Aku pengen jadi aktivisnya Green Peace atau minimal Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Sejujurnya, sejak dulu aku ini memang punya kepedulian lingkungan yang besar, lho. Malah jauh lebih besar dibanding kepedulian sosialku. He...he..he. Aku tuh perasaan banget kalau ngeprint-ngeprint salah terus yang bikin kertas & tinta terbuang percuma, atau siang-siang pas asap knalpot kendaraan lagi banyak-banyaknya, atau yang bikin aku gelisah banget... masalah energi minyak yang bikin bumi tambah panas hari demi hari. Aku sering mikiiir gitu gimana caranya supaya ada energi alternatif pengganti minyak bumi. bahkan aku setuju-setuju aja subsidi BBM dihapuskan, atau penerapan kebijakan warna plat, dengan catatan ada fasilitas transportasi umum yang aman, murah, nyaman, terjangkau, dan mudah diakses ( Kapan, ya?). Aku juga setuju-setuju aja ada kewajiban naik sepeda kesana-kemari sebagai pengganti kendaraan bermotor. Asal bukan aku sendirian yang naik sepeda :D.

Source : Pinterest

Ya, sebetulnya keinginan jadi volunteer itu  kuat banget akhir-akhir ini. Tidak cuma jadi volunteer lingkungan, aku juga pengen banget gabung jadi aktivis gerakan kesehatan mental dan.....galakkan kebiasaan membaca. Beneran, deh. Aku mau tuh gabung di tiga gerakan itu. Mungkin abis kuliah ini aku mau meluangkan waktu kesana.

Sekian. Selamat dini hari...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.