Balik lagi. Akhir-akhir ini jadi mood banget nulis. Hehehe.
Now, i am fighting again. This is the 1st time after the prime one a.k.a The Colors Of You. I said that i'll fighting again, right ? This is it..
Mo ikutan event ini nih..[ Gramedia Writing Project ]. Lengkapnya baca sendiri, ya. Aku coba ikut dengan nyertain potongan novel yang judulnya sama kayak judul postingan ini. Bahasa Indonesianya Cinta, Kegilaan, dan Para Jenius. Ciaahhhh...
Inti ceritanya sih tentang seorang cewek [ belum dipikirin namanya, i am not so creative in making names ] yang kerja paruh waktu sebagai asisten pengawas mansion di universitas X [ belum tahu namanya juga ] untuk membantu orang tuanya membiayai kuliahnya. Mansion itu mewah, dengan fasilitas lengkap yang memang disediakan universitas untuk empat belas mahasiswa2/i jenius dan berbakat dari berbagai jurusan supaya mereka bisa hidup tenang dan mengembangkan diri masing-masing dengan tenang.
Singkat cerita, cewek ini orang dengan kemampuan biasa-biasa aja, namun punya mental baja dan semangat yang tinggi. Namun, karena dia tidak punya kemampuan atau bakat yang menonjol, dia jadi bulan-bulanan sebagian penghuni mansion itu untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. tapi, bulan-bulanan disini bukan kayak yang di sinetron-sinetron itu lho, yang jahatnya minta ampun dan dibunuh berkali-kali tetep nggak mati-mati. Bulan-bulanan yang dimaksud hanya yang ringan-ringan aja kok, kayak nyuruh kesana-kemari, ngerjain, ngusilin, dan sebagainya. Trus akhirnya cewek sang tokoh utama jadian dengan salah satu cowok jenius yang agak gila penghuni mansion itu. Pokoknya comedy romantis deh, ada sedih-sedihnya juga. Karena digambarkan sebelas penghuni mansion ini punya masalah mereka masing-masing. Mulai dari keluarga, lingkungan sosial, sampai diri pribadi sendiri.
Jeng..Jeng..Jeng...
Baru jadi 2,5 halaman kok, cuman buat syarat ngikutin event diatas aja. Tapi insyaallah, ceritanya ya seperti itu. Ini masih sementara mikirin sub-sub plotnya.
Dan ini dia sedikit kisah dari potongan [ rencana ] novelnya... :D
Baiklah. Aku memang bukan orang yang pandai. IPK-ku
paling tinggi hanya 3,4 saat semester tiga dulu. Aku bukan termasuk orang yang
menonjol dalam mata kuliah apapun, bukan pula orang yang jadi andalan saat
waktunya presentasi tugas, dan pastinya bukan orang yang dikenal dosen karena
kepintaranku. Bukan.
Tapi, itu tidak berarti mereka, para penghuni mansion
ini bisa bertingkah seenak udel mereka hanya karena mereka pintar dan berbakat.
Hanya karena mereka diperlakukan dan ditempatkan pada posisi yang istimewa oleh
universitas, tidak bisa jadi pembenaran atas perilaku-perilaku mereka yang
sering keterlaluan.
Dan, oke. Aku berada disini hanya sebagai asisten
pengawas, pekerjaan paruh waktu yang terpaksa ku ambil demi bisa meneruskan
kuliah. Tugas utama dari pekerjaan ini adalah membantu pengawas mansion, dalam
hal ini Bu Ratih, untuk mengatur jadwal kegiatan dan kebersihan penghuni
mansion mewah ini. Bukan untuk jadi babu mereka, jelas bukan. Tapi nyatanya
sejak hari pertama aku menginjakkan kaki disini, kurang lebih begitulah
statusku di mata mereka.
Di tempat ini tidak ada pembantu. Sebagai ganti
fasilitas lengkap dan mewah yang diberikan oleh universitas, penghuninya
diwajibkan untuk merawat dan membersihkannya sendiri. Seharusnya itu tidak
sulit, mengingat ada dua belas orang yang-boleh-dibilang-hampir-dewasa (
termasuk aku ) yang menempatinya. Selain lima belas kamar ( tiga lainnya belum
berpenghuni ) , ada tiga kamar mandi wanita, tiga kamar mandi pria, ruang makan
yang menyatu dengan dapur seluas 5x5 m2, ruang cuci kecil berisi
empat mesin cuci, serta koridor selebar 1 m2 dan sepanjang 10m2.
Secara teori, dengan jadwal piket harian yang diberikan, jika semua orang
disini mengerjakan tugasnya bersama-sama, maka tidak sampai setengah jam
semuanya akan selesai. Piket hanya mencakup menyapu dan mengepel lantai
masing-masing ruangan, dan menyikat lantai kamar mandi. Seminggu sekali
diadakan kerja bakti total bersama untuk mengerjakan tugas-tugas piket harian
plus menguras bak mandi dan membersihkan gudang yang terletak di luar bangunan.
Mudah.
Tapi itu hanya dalam teori. Seperti isi kepala
penghuninya.
Kenyataannya, hanya tujuh orang yang mau melaksanakan
piket harian. Itupun dua orang tak beres hasil pekerjaannya. Empat orang sama
sekali tidak mau ikut serta. Jangankan untuk membersihkan mansion, kamar mereka
sendiri saja sangat berantakan. Tak pernah sekalipun terlihat rapi semenjak aku
ikut tinggal disini, artinya sejak setahun lalu. Parahnya, tiga dari empat
orang itu adalah perempuan. Sofia, Cecilia, dan Mindy. Yang seorang lagi
laki-laki yaitu Mile ( cara membaca namanya yaitu Me-il, nama aslinya Anjas
Triono. Jangan tertawa dan jangan tanya aku mengapa bisa begitu, aku tak tahu
mengapa panggilannya bisa jadi Mile ). Berantakannya pun tak tanggung-tanggung.
Hanya perabotannya saja yang masih tetap di tempat, namun isinya sudah
terdampar di tempat-tempat yang tak seharusnya. Sofia, misalnya. Orang yang
baru pertama kali memasuki kamarnya pasti mengira ada semacam badai topan yang
menyusup masuk ke ruangan itu. Buku dan kertas-kertas berserakan di lantai dari
ujung ke ujung, bercampur dengan pakaian luar dan pakaian dalam, alat tulis,
dan peralatan make up yang bertebaran di atas kasur. Aku sendiri tak tahu
dimana dia tidur saat malam hari. Mungkin dia membuat semacam sarang dengan
buku-buku dan kertas-kertas tersebut. Siapa yang tahu ? Tidak ada orang normal
yang hidup di tempat ini ( kecuali aku tentu ). Apa saja bisa terjadi. Disini tak
bisa dibedakan antara kejeniusan dengan kegilaan. Percayalah, satu bulan hidup
bersama mereka sudah cukup membuktikannya.
Samar-samar ku dengar suara mobil dari gerbang
mansion. Itu pasti Sahara. Ku lirik jam di sudut kanan bawah laptop. Sudah
pukul dua malam. Ini sudah ketiga kalinya minggu ini Sahara pulang selarut ini.
Minggu kemarin, dia baru saja menandatangani kontrak untuk menjadi model sebuah
merek pakaian remaja impor yang baru saja masuk Indonesia. Menurut jadwal yang
diserahkan Sahara padaku, selama lima bulan ke depan dia harus mengikuti dua
puluh acara peragaan busana merek tersebut ke berbagai kota-kota besar di
Indonesia. Belum termasuk jadwal pemotretan majalah. Sepertinya semester ini
akan menjadi saat yang berat baginya.
Terdengar bunyi kunci yang diputar di pintu depan, disusul
oleh gema sepatu yang agak teredam di lantai. Kamar Sahara adalah kamar tujuh
yang terletak persis di sebelah kamarku, yaitu kamar delapan. Kembali terdengar
bunyi putaran kunci. Tak berapa lama kemudian, derit khas dari pintu kamar
mandi nomor tiga memecah keheningan malam.
Blackberryku bergetar di sampingku. Ada pesan dari
Ronnie.
Say, tolong
bikinkan segelas cappuccino, ya. Kayak biasa. Airnya jangan terlalu panas.
Nggak pake lama.
Astaga, dia pikir ini jam berapa ? Sudah dini hari.
Aku bisa saja sedang tidur. Ku balas pesannya dengan geram.
Ron, Plis deh. Nggak ada waktu lain, apa ? Kamu tahu
ini udah jam berapa ?
Kalo jam di
kamarku nggak salah, berarti udah pukul dua lewat. Kok nanya aku, jammu mati ?
Jangan lama-lama ya, cappuccinonya. Aku butuh sesuatu yang hangat buat
menyegarkan pikiran.
Ogah. Kalo kamu nggak tahu, ini waktu tidur orang
normal.
Tapi kamu
nggak tidur kan ? Ayo dong, bikinin. Kalo nggak mau, foto kamu itu langsung ku
upload ke facebook, lho.
Sial. Jahat sekali. Dia punya senjata andalan, fotoku
saat tertidur dimeja makan yang didapatnya sebulan setelah aku pindah ke tempat
ini. Saat itu aku sedang belajar untuk ujian dan lampu kamarku mendadak mati,
maka aku pindah ke ruang tengah yang merangkap sebagai ruang makan. Karena kelelahan,
aku tertidur dan baru terbangun menjelang shubuh. Esok paginya, di blackberryku
sudah masuk sebuah pesan yang berisi fotoku yang dimaksud, disertai dengan
kalimat ancaman bernada bercanda supaya aku tak macam-macam dengannya.
Sebenarnya, foto itu tidak berbahaya sampai aku harus
mempertaruhkan nyawa supaya tak diketahui orang lain. Hanya saja, mana ada sih
cewek yang mau foto memalukannya dilihat orang lain, apalagi disebar di
jejaring sosial ? Apalagi poseku tidur memang sama sekali tidak imut. Dan, di
foto itu kaos kedodoran yang ku kenakan agak melorot sehingga baju dalamku
sedikit terlihat. Belum lagi bekas iler, rambut awut-awutan, dan mulutku yang
menganga seperti orang bodoh. Sungguh, itu benar-benar senjata mematikan.
Aku mengumpat pelan, lalu ku ketik balasannya dengan
frustasi campur jengkel.
Siap, BOS. Akan tiba dalam waktu sepuluh menit. Mau
camilan juga, BOS ? Sekalian gitu, biar tambah melek dan nggak ngerusuhin
tidurnya ORANG NORMAL…
Kamu lucu
juga ya, Say ? Nggak perlu. Cappuccino aja, cepeeetttt….
Ku banting BB-ku ke kasur lalu keluar kamar menuju
dapur. Ku putar tombol kompor gas untuk menjerang air. Merepotkan dan
menyebalkan, padahal sebenarnya bisa memakai air dispenser saja. Tapi Ronnie
tak menyukainya. Dia bilang minuman panas yang diseduh dengan air dispenser
rasa enaknya tidak sampai setengah dibanding dengan bila diseduh dengan air
panas yang dijerang sampai mendidih.
Poor Ronnie.
So do i.
Ini baru dengan Ronnie. Belum lagi harus berurusan
dengan sepuluh penghuni lain. Tak pernah terpikir bahwa sangat sulit hidup
bersama dengan para jenius dan orang-orang berbakat.
***
# Hasil bertapa semalam suntuk... :D
Source Of This Pictures : Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
This is virtual world. Tapi, inilah tempat yang justru membuat diri kita bisa sejenak melepaskan topeng-topeng dan jubah kepalsuan di dunia nyata. So, this is the real me, yang tak pernah ku tunjukkan kepada kenyataanku. Mari saling berbagi dan bercerita tentang hidup. Feel free to leave your comment. I am not too creative to reply the comments. So, sometimes i don't reply it. But, Please believe that i definitely read your single comment and really appreciate it.